PRIA BERWAJAH TEDUH
Siang itu aku begitu kalang kabut, karena semua akses internet di tempat kerja kami mati total.
Pekerjaan yang seharusnya selesai tepat waktu terpaksa ditunda.
Hari yang membosankan, tidak ada dering Twitter, Line dan Whatsapp masuk, sementara kuota internet pribadi habis.
Aku duduk di pojok ruangan setengah melamun karena tidak ada yang kukerjakan, jam tanganku menunjukkan pukul setengah satu, artinya beberapa jam lagi kami pulang.
Tapi tetap saja aku yang harus membereskan semua masalah mulai dari absensi ketidakhadiran, data suhu ruangan, tumpukan data resep serta returan obat yang sudah tidak tersentuh tangan ditambah Wifi mati. Aku tidak bisa mengakses apapun.
Tiba-tiba hapeku berdering.
"Mba, ini lokasinya dekat SMKN 6 Malang ya?"
"Mba, ini lokasinya dekat SMKN 6 Malang ya?"
"Iya mas, kalo dari arah Sawojajar belok ke kanan, tempatnya berada di kiri jalan, kira-kira lima ratus meter dari ATM BRI."
Kataku menjelaskan ke petugas Fiber Optik.
"Baik, kami segera meluncur."
Kubereskan semua berkas yang tercecer di meja kerjaku.
Kuletakkan satu almari dengan data suhu ruang dan kartu stok obat.
Entah kenapa aku tiba-tiba rindu pulang. Aku rindu rumah.
Tugas dan pekerjaan yang menumpuk membuat semuanya terasa sulit ditinggalkan.
Siang yang begitu terik, aku membuat ekstrak selasih dingin dengan gula batu.
Melegakan, dan kami berebut untuk minum.
Menikmati selasih ketika panas terik seperti ini sangat menyenangkan, seperti minum air di tengah gurun pasir. Kerongkongan yang sedari tadi kering terbasahi dan dingin.
Aku memutar lagu-lagu yang berkisah tentang keluarga, tiba-tiba saja air mataku menetes.
Entahlah, sudah dua bulan ini aku tidak menyambangi rumah.
Ed, Nena, dan Mika apa kabar?
Ed, Nena, dan Mika apa kabar?
Sudah semakin besarkah kalian?
Aku rindu untuk tidur bersama kalian.
"Assalamua'laikum... Permisi..."
Ada yang datang.
"Eh Zi, petugas fibernya uda datang tuh."
"Iya mas, lewat pintu sebelah."
Balas temanku sambil berlarian kecil membukakan pintu.
"Eh Zi, petugas fibernya uda datang tuh."
"Iya mas, lewat pintu sebelah."
Balas temanku sambil berlarian kecil membukakan pintu.
Sosok berperawakan tinggi mengenakan baju berwarna merah dengan tali-temali melingkar di tubunya. Tali temali yang besar, mirip dengan tali galangan kapal yang biasa kulihat di pelabuhan.
Sepatu hitam dengan sol setebal ban mobil membuat dahiku mengernyit.
Kupandu mereka menuju pusat Wifi yang bermasalah.
Setelah dicek, ternyata sumber masalahnya ada di kabel Fibernya yang terputus.
Setelah dicek, ternyata sumber masalahnya ada di kabel Fibernya yang terputus.
Terpaksa kedua petugas itu harus kembali untuk mengambil perlengkapan memanjat.
Panas semakin terik, sedang selasih yang kubuat sudah lenyap tak tersisa.
Beberapa menit kemudian, petugas itu datang dengan membawa perlengkapan memanjatnya.
Satu persatu kabel Fiber di depan tempat kami dicek dan dibenahi.
Dari jauh aku menyaksikan, sosok itu bergelantungan berbaur dengan tangga, tali temali dan teriknya matahari siang, hampir satu jam lebih.
"Mba kabel Fibernya sudah kami benahi dan Wifinya barusan dicoba sudah bisa,
coba dicek ulang ya..."
Ucapnya sambil mengelap keringat yang mengucur didahinya.
coba dicek ulang ya..."
Ucapnya sambil mengelap keringat yang mengucur didahinya.
"Hmm, o.. o.. iya iya mas, saya coba dulu."
Kuambil handphone yang ada di atas meja, kusambungkan dengan Wifi dan benar saja akses internetnya sudah lancar seperti semula.
Kuambil handphone yang ada di atas meja, kusambungkan dengan Wifi dan benar saja akses internetnya sudah lancar seperti semula.
Aku tertegun, belum pernah kulihat wajah seteduh itu, tatapan mata dan senyum simpul yang manis. Sangat manis, bahkan lebih manis dari madu-madu yang kujual selama setahun terakhir.
Aku berantakan, kalimatku belepotan.
Gugup, aku benar-benar gugup.
Ah, aku memang terkesan lebay. Tapi wajahnya benar-benar teduh.
Dan, aku baru ingat ia adalah lelaki yang setahun lalu kesini untuk memasang routerkan?
Ia pernah sholat Magrib di mushola kami tanpa alas apapun, karena mushola kami masih dalam tahap renovasi akibat atapnya bocor. Lantainya tidak sepenuhnya kering, masih ada sisa genangan air disana-sini.
Mengenakan baju seadanya yang penuh keringat ia tetap khusyu' menjalankan ibadahnya.
Dan, aku baru ingat ia adalah lelaki yang setahun lalu kesini untuk memasang routerkan?
Ia pernah sholat Magrib di mushola kami tanpa alas apapun, karena mushola kami masih dalam tahap renovasi akibat atapnya bocor. Lantainya tidak sepenuhnya kering, masih ada sisa genangan air disana-sini.
Mengenakan baju seadanya yang penuh keringat ia tetap khusyu' menjalankan ibadahnya.
Kali pertama mataku terhipnotis, wajahnya yang teduh memancarkan aura kesejukkan yang sulit diterima logika.
Cerita tentang orang-orang berwajah teduh yang sering dipublikasikan melalui TV dan Media Sosial, ternyata bukan hanya fiktif belaka. Aku melihatnya hari ini di dalam dirinya.
Tuhan menciptakan manusia-manusia berwajah teduh bukan tanpa alasan-kan?
Komentar
Posting Komentar