Jatuh Hati

Pada suatu hari aku jatuh cinta padamu. 
Kakak kelas sewaktu SMA. 
Saat pertama kali kau mengajari kami Mars SMA dengan semangat yang luar biasa di kelas MOS.

Mengenakan atasan OSIS dan bawahan abu-abu, terlihat lebih formal dari pakaianku yang berantakan.
Dengan rambut dikuncir ekor kuda dan wajah belepotan karena coretan disana-sini. 
Aku bahkan terlihat begitu konyol.
Ya, sangat konyol. 

Kau pasti tertawa saat aku bilang itu jatuh cinta.
Seperti anak ingusan yang baru saja belajar berjalan.
Berani-beraninya bicara cinta.

Tapi tentu kau tahu, bahwa cinta itu bisa hadir kepada siapapun tanpa mengenal usia, batasan, 
dan tanpa perlu tahu asal usulmu dari bumi belahan mana.
Cinta tidak membutuhkan pikiran yang jernih untuk memahaminya bukan? 
Entah sesuatu itu baik atau buruk, cinta tidak mau tahu itu.
Yang jelas aku sudah jatuh hati padamu.

Kau tahu?
Aku sengaja datang lebih pagi di hari senin,
agar bisa berbaris paling depan untuk  melihatmu menjadi petugas pembaca do'a. 
Memilih tempat duduk paling depan supaya bisa melihatmu mondar-mandir di depan kelas, karena kelas kita bersebelahan. 
Ketika istirahat tiba, aku sengaja duduk di kursi depan taman.
Supaya bisa menyaksikan kelas tambahan yang sedang kau ikuti. 

Pernah sekali aku dan sahabatku mewawancaraimu mengenai pensi, apakah kau masih ingat?
Semua topik tentang pensi sekolah tidak sepenuhnya kita bahas.
Aku lebih tertarik membicarakan kehidupan pribadimu.
Apa cita-citamu?
Apa hobimu saat itu?
Nanti kuliah dimana?
Ingin jadi apa?
Bukankah aku jurnalis yang konyol?
Tapi ini realitanya, aku terlalu ingin tahu semua hal tentangmu.

Hingga pada suatu ketika kau lulus.
Dinyatakan sebagai lulusan terbaik di jurusanmu.
Bukan main girangku kala itu.
Tapi apakah kau tahu bagaimana perasaanku ketika kita sudah tidak lagi satu sekolah?

Hari-hariku begitu sulit. 
Semangatku berangsur-angsur menyusut.
Tak ada alasan untuk datang lebih pagi ke sekolah seperti biasanya.
Tak ada lagi alasan memilih barisan paling depan saat upacara di hari senin. 
Bahkan tak ada lagi alasan untuk duduk di taman depan kelasmu. 
Semua sudah berubah. 
Hari- hariku menjadi berat. 
Semuanya terasa sulit, ya tanpa kehadiranmu.

Hingga pada suatu ketika, aku berubah menjadi kuat. 
Aku bangkit. 
Aku mulai menerima garisku.
Aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa kita ditakdirkan berjauhan. 
Ya, Tuhan telah mengangkatku dari keterpurukan.
Aku mulai terbiasa tanpamu.






Komentar

Postingan Populer